ARTIKEL DOKUMEN GALERI POSTER ENDORSEMENT HOTLINE TENTANG EQUALS_ID KONTRIBUTOR EQUALS_ID MITRA EQUALS_ID

Vaksin COVID-19 Dan Orang Dengan HIV Di Indonesia, Kontroversi Berkepanjangan

01-Sep-2023 | Aan Rianto

Terakhir diperbaharui 16-Feb-2024

Estimasi waktu baca artikel sampai selesai menit

Telah di baca 159 kali

#faith2endaids

...

WHO, CDC dan beberapa organisasi kesehatan dunia sudah memberikan rekomendasi bahwa orang dengan HIV (seberapapun CD4/imunitas mereka) seharusnya menjadi prioritas penerima vaksin COVID-19.

Beberapa negara malah menjadikan orang dengan HIV (ODHIV) dengan CD4 <200 sel/mm3 diprioritaskan mendapat vaksin mengingat secara imunitas dan kekebalan tubuh mereka jauh lebih rentan terinfeksi daripada orang lain. Secara teori dan fakta COVID-19 akan meningkatkan resiko penularan dan juga kesakitan (bahkan mortality) pada orang orang yang memiliki imunitas rendah, termasuk orang dengan HIV yang memiliki sistem kekebalan tubuh (CD4) lebih rendah dari rata-rata.

Sementara tahun lalu saat awal pandemi COVID-19, orang dengan HIV juga ditakut takuti bahwa mereka adalah kelompok paling rentan terinfeksi mengingat banyak yang memiliki imunitas/CD4 rendah. Bahkan kelompok ini diingatkan untuk tidak terlalu sering ke rumah sakit sekalipun untuk mengambil ARV.
Banyak kasus ODHIV memutus sementara pengobatannya karena ketakutan tertular COVID-19 di rumah sakit karena isu ini. Saat vaksin COVID-19 tersedia untuk semua orang justru ada beberapa pihak yang seolah melakukan pembatasan atas hal ini dengan alasan "HIV adalah komorbid". 

Bahkan dibeberapa social media komunitas selalu ada yang membagikan pengalaman negatif paska vaksin padahal apa yang dialami tidak ada kaitannya dengan efek samping COVID-19 apalagi status HIV.

Fakta dilapangan:
1. Kemenkes sudah mengeluarkan edaran baru atas rekomendasi PAPDI bahwa HIV bukanlah komorbid sehingga tidak perlu membuka status HIV apalagi CD4, hal ini juga untuk menghindari penolakan vaksin oleh petugas yang belum terupdate informasinya.
2. Masih banyak tenaga kesehatan yang tidak update informasi terkait pemberian vaksin bagi pasien dengan HIV, sekalipun sudah ada edaran kemenkes dan juga banyak referensi kesehatan lain yang tersedia secara luas di internet.
3. Masih ada konselor, pendamping dan juga peer educator (penyuluh) yang juga tidak update informasi padahal mereka adalah ujung tombak informasi bagi orang dengan HIV.
4. Satgas vaksin sendiri saat dihubungi per telpon juga masih mensyaratkan bahwa orang dengan HIV harus membuka status dan mensyaratkan CD4>200 sel/mm3. Hal ini bertentangan dengan instruksi yang diberikan oleh kemenkes terkait percepatan vaksin.
5. Masih banyak orang dengan HIV yang akhirnya mundur dan menolak vaksin karena takut efek samping yang disampaikan oleh banyak orang yang justru belum vaksin dan mendengar berita dari orang lain yang juga mendapat informasi dari sumber lain (hoaks berantai). Demikian pula kekuatiran harus membuka status HIV dalam ruang pra-vaksin yang dapat didengar semua orang .
6.  Fakta beberapa tempat layanan pemberi vaksin masih menanyakan status HIV, kemudian meminta untuk kembali dengan membawa rekomendasi dari layanan poli hiv.

Apa yang kemudian terjadi dan dapat kita perhatikan dari kejadian ini?
1. Tidak adanya koordinasi antara pengambil kebijakan dan pelaksana lapangan.
2. Dengan adanya informasi negatif tentang hoaks efek samping dan juga kekuatiran pembukaan status HIV, juga harus kembali kelayanan dengan rekomendasi medis maka akan menghambat upaya percepatan vaksin nasional.
3. Dengan adanya hambatan dan kendala ini maka upaya pencapaian herd immunity juga akan sulit dicapai sehingga pembatasan mobilisasi akan terus berkepanjangan dan angka infeksi baru akan terus meningkat.

Fakta bahwa pabrikan/produsen vaksin dan negar asudah menjaminkan keamanan vaksin akan sia-sia saat petugas dilapangan tidak diupdate informasinya, padahal mereka seringkali menjadi tempat bertanya mencari jawaban terkait bagaimana hidup dengan HIV.

Jadi isu HIV, vaksin COVID-19 dan kesehatan mental seperti menjadi dipolitisasi karena saling tidak berkesinambungan. Diawal pandemi COVID-19 orang dengan HIV ditakuti bahwa mereka mudah terinfeksi COVID-19, saat sudah tersedia vaksin mereka ditakuti bahwa vaksin COVID-19 tidak aman bagi orang dengan HIV yang juga dianggap sebagai komorbit.

Kalau HIV dianggap comorbid sehingga orang dengan HIV harus menunjukkan hasil pemeriksaan CD4 dan rekomendasi layanan, lalu bagaimana dengan sebagian besar orang yang tidak pernah VCT dan tidak tahu status HIV mereka?

Bukankah persyaratan pemberian vaksin dengan mengecualikan orang dengan HIV juga termasuk diskriminasi dalam pemberian vaksin? Bagaimana dengan moto "leave no one behind?"

Artikel dari
Informasi dasar

Doxy-PEP Dan Literasinya


06-Jun-2024 | Aan Rianto

Perlindungan Dari IMS Setelah Resiko


07-Jun-2024 | Aan Rianto

Bagaimana Menjaga Kepatuhan Minum ARV?


21-Jan-2024 | Aan Rianto

Adakah Herbal Penyembuh HIV?


11-Sep-2023 | Aan Rianto

Gejala HIV Yang Di Sering Ditanyakan


01-Sep-2023 | Aan Rianto

Apakah HIV Dapat Ditekan Dengan Nutrisi?


12-Sep-2023 | Aan Rianto

Terapi Pencegahan TBC (TPT) Pada ODHIV


08-Jan-2024 | Aan Rianto

TBC Laten Dan Pencegahan TBC (TPT) 3HP


19-May-2024 | Aan Rianto