BERANDA ARTIKEL DAFTAR ARTIKEL FAVORIT SAYA DOKUMEN KONTEN EDUKASI ENDORSEMENT HOTLINE TENTANG KAMI

Takut HIV?

11-Sep-2023 | Aan Rianto

Terakhir diperbaharui 16-Feb-2024

Estimasi waktu baca artikel sampai selesai menit

Telah di baca 80 kali

Jadikan artikel favorit

#faith2endaids

...

Mengapa orang begitu takut akan HIV?
HIV saat ini ada obatnya, HIV dapat dicegah, HIV tidak mudah ditularkan, bahkan melakukan hubungan seks dengan orang yang hidup dengan HIV tanpa kondom pun sangat bisa tidak tertular HIV. Lalu mengapa orang dengan HIV begitu ditakuti, dijauhi bahkan dicegah untuk melakukan interaksi sosial (bukan seksual)?
Apa yang menyebabkan orang takut akan HIV?

HIV sudah ada hampir 40 tahun  dan saat ini diperkirakan ada lebih dari 500,000 orang yang hidup dengan HIV, dimana dengan pemgobatan saat ini mereka secara fisik terlihat sama seperti orang tanpa HIV. Secara kesehatan mereka juga sama sepertti orang tanpa HIV. Bahkan banyak dari mereka yang memiliki pasangan dan anak negatif HIV yang berarti bahwa mereka tidak menularkan HIV kepasangan dan anaknya, baik dengan hubungan intim secara seksual ataupun melalui jalan persalinan. Kertas kebijakan yang dibuat oleh WHO ditahun 2023 juga menjelaskan bahwa orang yang hidup dengan HIV yang menjalani pengobatan dan menjaga viral load tersupresi dibawah 1000 kopi/mL memiliki resiko penularan yang dapat diabaikan. https://www.who.int/publications/i/item/9789240055179

Lalu apa yang membuat orang masih begitu takut dengan (penularan) HIV?
Ataukah karena anggapan bahwa HIV tidak ada obatnya, tidak bisa disembuhkan, karena akan dianggap aib, akan dikucilkan atau karena tidak tahu akan tertular dari siapa dan bagaimana akan tertular?
Memahami HIV, cara penularan dan pencegahannya bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan atau butuh waktu lama untuk mempelajarinya. Saat badan kesehatan dunia sekelas WHO membuat pernyataan yang cukup "kontroversi" bertentangan dengan anggapan selama ini, lalu apakah kita juga menolak untuk mempercayainya, dan tetap lebih percaya akan edukasi yang umurnya hampir 40 tahun dimana dikatakan bahwa HIV sangat mudah ditularkan melalui "seks bebas"?

Yang sebenarnya terjadi kemungkinan adalah karena kita masih terbelenggu edukasi lama dan mungkin juga sarat dengan stigma yang mencantumkan label bahwa orang yang sering melakukan "seks bebas" akan layak terinfeksi HIV. Seolah sebuah prestasi yang harus dihargai dengan status HIV positif. Sehingga saat melakukan suatu hubungan "seks bebas" akan timbul pemikiran bahwa dirinya pasti akan terinfeksi HIV. Jadi sekalipun melakukan tes HIV berulangkali bahkan dengan metode PCR sekalipun tidak akan pernah percaya bahwa dirinya tidak terinfeksi HIV karena melakukan "seks bebas" pasti akan mendapat paket terinfeksi HIV.

Hal ini kiranya akan menjadi suatu stigma baru yang akan membuat orang enggan melakukan tes HIV. Hasil tes HIV reaktif atau positif tentu saja akan menempelkan stigma baru sebagai orang gemar melakukan "seks bebas". Dan pemikiran ini cukup mengerikan bagi orang-orang yang menjunjung tinggi moralitas. Mereka akan berpikir bahwa orang yang moralitasnya buruk yang hanya dapat terinfeksi HIV. Bagaimana kalau kemudian dia harus terdiagnosa positif HIV? Tentu label moralitas buruk tadi akan serta merta melekat.
Hal ini tentunya juga dikaitkan dengan edukasi HIV yang sudah puluhan tahun selalu mengkaitkan dengan "seks bebas", moralitas dan aib, bahkan diruang-ruang pelayanan kesehatan juga masih sering ada upaya menasehati agar tobat dan menjalani kehidupan yang lebih baik.
Kalau hal ini terus dilakukan lalu bagaimana kita dapat mendorong orang untuk melakukan tes HIV? Untuk tau statusnya, sehingga saat positif dapat segera memulai pengobatan dan saat negatif dapat melakukan berbagai lamgkah pencegahan yang dibutuhkan agar tidak terinfeksi HIV.

Faktanya selama masih banyak orang yang enggan melakukan VCT dan tidak tau statusnya (apapun alasannya) maka penularan HIV masih akan tetap menjadi ancaman bagi siapapun. Seperti kita ketahui HIV tidak pernah memilih siapa yang akan diinfeksinya. Siapapun dapat terinfeksi HIV kalau tidak memahami cara penularannya. Lalu apakah hal ini perlu membuat orang takut terhadap orang yang hidup dengan HIV, bahkan menolak memberikan perawatan medis karena alasan tertular ini? Ada banyak petugas kesehatan yang melakukan penolakan perawatan medis pada orang yang hidup dengan HIV seringkali dengan alasan tidak memiliki "APD khusus". Faktanya ada data yang menunjukkan bahwa ternyata tidak semua tenaga medis melakukan Universal Precautions sebagai langkah pencegahan penularan infeksi baik dari pasien ke petugas ataupun pasien ke pasien lain.
https://media.neliti.com/media/publications-test/21115-pelaksanaan-universal-precautions-oleh-p-d0dc2eda.pdf

Tenaga medis lebih banyak melakukan penolakan atas tindakan perawatan pasien dengan HIV karena ketakutan tertular HIV dari pasiennya. Fakta bahwa pasiennya sudah menjalani pengobatan ARV rutin dan mencapai viral load tidak terdeteksi tidak mengurangi ketakutan akan tertular HIV. Fakta lain bahwa tertularnya tenaga medis dari kondisi kecelakaan kerja sangatlah sedikit kasusnya. Apalagi saat Universal Precautions yang menjadi SOP penanganan pasien dilakukan. Data berikut menunjukkan hingga akhir 2013 ada 58 kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan tertular HIV dan 150 kasus kemungkinan tertular dengan cara kecelakaan kerja (dilayanan kesehatan) yang dilaporkan. Sejak 1999  hanya ada 1 kasus yang benar-benar terkonfirmasi tertular HIV melalui kecelakaan kerja.
https://www.cdc.gov/hiv/workplace/healthcareworkers.html
Didalam suatu SOP tindakan medis untuk penanganan pasien yang hidup dengan HIV tentunya juga terdapat aturan terkait pemberian pencegahan paska pajanan saat terjadi resiko kecelakaan kerja yang memungkinkan tenaga medis terinfeksi HIV dari pasiennya. Tenaga medis memiliki hak untuk mendapatkan Post Exposure Prophylaxis  (PEP) yang dapat mengurangi resiko terinfeksi HIV bahkan setelah terjadi pajanan.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4913970/

Diluar konteks layanan kesehatan dan dalam kehidupan sosial orang yang tau status HIV positif dan menjaga viral loadnya tidak terdeteksi, justru orang yang 100% tidak lagi dapat menularkanb HIV kepasangannya, dibandingkan dengan orang yang tidak mengetahui status HIV-nya sama sekali yang justru menjadi orang yang berisiko tinggi untuk menularkan HIV saat mereka tidak tau status HIV-nya.

Lalu bagaimana dengan orang-orang diluar yang tidak pernah VCT atau tau statusnya? Merekalah yang tanpa disadari akan sangat mungkin menularkan HIV kebanyak orang.

Lalu mengapa yang distigma justru orang-orang dengan HIV yang sangat jelas tidak lagi dapat menularkan HIV?
Bukankah mereka sudah memberanikan diri tau status, dan menjalani pengobatan hingga tidak lagi dapat menularkan orang lain? Mengapa mereka yang harus mendapat stigma?

Ataukah dengan memberikan stigma keorang lain (termasuk mengkaitkan dengan aib dan moralitas) akan membuat diri merasa lebih baik? Faktanya justru semakin ketakutan dengan penularan HIV, bahkan hingga taraf anxiety.

Jadi mengapa masih banyak orang yang memiliki ketakutan berlebihan akan HIV atau orang yang hidup dengan HIV? Pemikiran yang sering dikaitkan dengan aib dan morlitas juga menjadikan orang menghindari orang-orang yang hidup dengan HIV karena merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang-orang yang secara moralitas dianggap "berbeda" dengan standar moralitasnya.

Kata kunci : #faith2endaids
Artikel dari
Informasi dasar

IMS - Gonorrhea Atau GO


05-Feb-2024 | Aan Rianto

Apakah Antibodi Dapat Menghilang?


24-Feb-2024 | Aan Rianto

Positif HIV, Apa Yang Harus Dilakukan?


11-Sep-2023 | Aan Rianto

Infeksi Silang HIV


02-Jan-2024 | Aan Rianto