Sudah Update Kah Informasi Dalam Edukasi HIV?
Terakhir diperbaharui 16-Feb-2024
Estimasi waktu baca artikel sampai selesai menit
Telah di baca 142 kali
#faith2endaidsPengobatan HIV sudah sedemikian maju dan obat HIV sedemikian efektif dalam menekan viral load yang artinya juga membuat orang dengan HIV tidak lagi dapat menularkan HIV secara seksual dengan cukup cepat. Diawal penemuan ARV orang masih harus meminum banyak pil/tablet per hari dengan efek samping yang seringkali juga cukup berat. Saat ini sudah tersedia pengobatan HIV secara suntik 1-2 bulan sekali bahkan sudah ada ARV suntilk yang dilakukan 6 bulan sekali. Walaupun untuk ketersediaan obat ARV di Indonesia saat ini yang terbaru adalah rejimen TLD (tenofovir, lamivudine, dolutegravir) dalam bentuk KDT (Kombinasi Dosis Tetap) ternyata masih banyak yang masih menggunakan obat jenis lama dari beberapa tahun lalu yang juga memiliki efek samping kurang nyaman bagi orang yang menggunakannya.
Diawal pengobatan HIV untuk memulai terapi maka orang yang hidup dengan HIV harus memiliki CD4 yang cukup rendah. Ini adalah gap yang cukup panjang untuk dapat melakukan penularan baru keorang lain. Selain itu juga perburukan kondisi kesehatan orang yang hidup dengan HIV akan menjadi kendala saat harus memulai ARV karena ada banyak infeksi lain yang juga harus diobati dalam waktu bersamaan.
Saat ini untuk memulai pengobatan ARV bisa dilakukan diwaktu yang sama saat pasien menerima hasil positif HIV. Dan dengan obat yang lebih baik yang saat ini tersedia penekanan viral load dapat terjadi lebih cepat, yang juga berarti pencegahan penularan juga dapat dilakukan lebih cepat.
Disisi lain, penelitian mengenai HIV juga tidak hanya sebatas perkembangan obat ARV. Penelitian-penelitian banyak dilakukan untuk mengurangi stigma terhadap HIV, mendorong orang dengan HIV untuk tetap menjalani pengobatan jangka panjang, dan juga membuat masyarakat umum untuk berani melakukan tes HIV dan mengetahui status HIV-nya dan tahu apa yang harus dilakukan terlepas apapun statusnya.
Kenyataannya saat sebagian besar negara lain sudah mengkampanyekan TDTM sebagai upaya mengurangi stigma dan juga mendorong tercapainya target dunia untuk mengakhiri epidemi HIV, masih banyak tenaga kesehatan dinegara kita yang masih selalu menggunakan literasi lama, memberikan resep obat ARV jenis lama bahkan mengedukasi dengan materi lama.
Mengapa masih banyak nakes bahkan staff kementrian kesehatan yang beranggapan sekalipun viral load tidak terdeteksi tetap masih ada resiko penularan HIV yang mereka kuatirkan sementara WHO dan juga banyak badan kesehatan dunia lain sudah mengakui saat viral load <200 kopi/mL tidak ada penularan atau aman 100% terhadap resiko penularan HIV sekalipun seks dilakukan tanpa kondom. Penelitian Partner II 2019 menutup kesimpulan tersebut dengan data valid tidak adanya kasus penularan baru HIV dari pasangan yang dalam penelitian.
Ternyata banyak yang pernah mendengar "masih ada resiko penularan karena hanya 96% aman dari penularan HIV" ini berasal dari penelitian awal HPTN 052 ditahun 2011 yang saat itu menggunakan ambang batas VL <400 kopi/mL. Dan ternyata penelitian lanjutannya justru tidak pernah dijadikan literasi selanjutnya untuk memahami konsep TDTM (Tidak terDeteksi=Tidak Menularkan) secara penuh.
Penelitian selanjutnya masih HPTN 052 yang difinalisasi tahun 2016 bersamaan dengan Partner I dan juga awal kampanye U=U (Undetectable=Untransmittable) menghasilkan kesimpulan bahwa viral load <200 kopi/mL sudah tidak lagi memiliki resiko penularan HIV melalui aktifitas seks sekalipun dilakukan tanpa kondom.
(Kondom tetap diperlukan untuk mencegah ims lain dan kehamilan yang tidak diinginkan)
Jadi data 96% ternyata bukanlah hasil informasi penelitian terakhir.......ini mungkin sama kasusnya bahwa homosexuality sudah dihapus dari daftar gangguan jiwa sejak tahun 1990an (bahkan tahun 1974 oleh asosiasi psikiater Amerika). Tapi diIndonesia bahkan ditahun 2021 masih dianggap sebagai kelainan, penyakit yang harus disembuhkan...... ternyata literasi yang dipergunakan bukanlah literasi yang ter-up to date.
Jadi bagaimana kita bisa menghapus stigma saat orang-orang yang harusnya berperan menghapus stigma dan mengedukasi dengan informasi terbaru malah berpegangan dengan informasi lama yang sudah tidak up to date....
Bagaimana dengan dilema vaksin COVID-19 bagi ODHIV beberapa waktu lalu? Masih berseliweran informasi lama yang tidak sesuai dengan rekomendasi kemenkes yang lebih baru......
Lalu bagaimana kita bisa melanjutkan edukasi yang positif, yang bisa mendorong perubahan perilaku dan tidak bersifat menakut-nakuti?
Orang ditakut-takuti COVID-19 pun tetep nekat enggan vaksin dan nekat mudik..... Orang ditakut-takuti HIV pun masih banyak kasus penularan baru...... Orang ditakut-takuti resiko rokok tetap beli rokok......
Mungkin kita memang harus berani mengubah edukasi menjadi lebih ramah dan tidak lagi menakut-nakuti. Orang akan berhenti merokok saat mereka melihat manfaat tidak merokok. Mungkin orang akan lebih peduli HIV, berani tes dan menjalani pengobatan saat mereka paham bahwa HIV sangat bisa tidak ditularkan saat menjalani pengobatan ARV, yang untuk itu harus tahu status HIV positif mereka. Dan apabila negatif maka dapat mengakses PrEP. Tidak ada orang yang bisa memaksakan orang lain untuk menggunakan kondom sekalipun harus menakut-nakuti dengan HIV.
Orang akan sadar bahwa ada pilihan lain unrtuk melakukan seks secara aman dan bertanggung jawab, yang berarti mengurangi resiko menularkan atau tertular HIV atau IMS lain.
Apakah ini salah satu alasan tidak berjalannya edukasi dan kampanye TDTM (Tidak terDeteksi=Tidak Menularkan) karena saat orang paham TDTM tidak akan bisa ditakut-takuti lagi?