Tekanan Sosial ODHIV
Terakhir diperbaharui 22-Feb-2024
Estimasi waktu baca artikel sampai selesai menit
Telah di baca 76 kali
#faith2endaidsKembali terdengar berita duka ada orang yang hidup dengan HIV yang masih berusia muda, meninggal karena selama 3 tahun sejak tahu status merahasiakannya sehingga tidak akses ARV. Terbayang betapa tersiksanya selama akhir hidupnya harus terus menyembunyikan segala keluhannya hanya karena takut diasingkan akibat informasi terkait HIV (yang katanya sudah banyak tersedia) serba ditutup. Hingga saat ini masih sulit mendapatkan informasi terkait HIV yang secara positif bisa memberikan pemahaman yang baik tanpa menimbulkan kecemasan ataupun ketakutan. Informasi yang saat ini banyak tersedia lebih banyak menjelaskan kondisi orang yang hidup dengan HIV ditahap stadium akhir, betapa mudahnya HIV ditularkan dan juga bagaimana "menderitanya" orang yang hidup dengan HIV dengan kondisi sakit-sakitan, miskin tidak memiliki pekerjaan hingga diasingkan keluarganya.
Seberapa banyak awam yang tahu bahwa pengidap HIV berbeda secara fisik dan kondisi kesehatannya dengan penderita AIDS (yang lebih banyak diekspose saat kondisi kritis). Disaat berita ini disampaikan dikomunitas untuk pembelajaran akan selalu ada ODHIV lain yang dengan mudahnya langsung melakukan judgment "banyak orang merahasiakan statusnya knapa dia gak bisa?"
Apabila mau jujur apakah kita bersedia menjawab mengapa kita merahasiakan status HIV kita? Mungkin jawaban terbanyak adalah karena takut dikucilkan.....Takut diketahui orang lain, yang akhirnya juga terjadi pengucilan atau diasingkan.
Beban sosial yang sangat berat, lalu layakkah melempar komentar "Masa gak bisa akses ARV sendiri?"
Saat orang tau status positif-nya, sebagian besar orang memikirkan seperti cara pikir awam :"bagaimana kalau orang lain tahu?".....semakin bertambah kekuatirannya bila pendamping atau konselor kemudian ikut "mengisolasi" secara sosial: terus-terusan mengatakan agar orang lain tidak boleh tau status HIV-nya, padahal informasi medis lain juga tidak perlu diketahui orang lain, bahkan dilakukan pelarangan untuk mencari informasi di media sosial, internet atau bahkan melakukan jejaring dengan komunitas yang sama-sama hidup dengan HIV...semakin tertutup akses informasi dan semakin tertekan karena tidak ada tempat untuk berbagi.
Informasi diluaran yang masih "dipercaya" (bahkan oleh survivor yang sudah lama sekalipun) :
1. HIV belum ada obatnya dan belum dapat disembuhkan
2. ODHIV=ODHA
3. Orang dengan HIV harus selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan kepasangan
4. Orang dengan HIV sangat rentan kondisi imunitasnya sehingga harus sangat berhati-hati terutama dilarang makan makanan mentah apapun ataupun yang dibakar.
5. HIV akan selalu menyebabkan banyak penyakit, sehingga demam, ruam, diare selalu dicurigai infeksi HIV.
6. Orang dengan HIV akan selamanya harus tegantung pada orang lain karena kondisi kesehatannya sehingga tidak akan memungkinkan untuk tinggal jauh dari kerabatnya, yang otomatis juga akan tau status HIV-nya.
Terkadang seringkali tanpa sadar kita sendiri terus "menghidupkan" mitos karena sudah berupa slogan dan malas berpikir kritis untuk melakukan perubahan sehingga informasi terkait HIV tidak pernah benar-benar terbuka tanpa harus ada usaha menakut-nakuti dengan foto-foto penderita AIDS yang pastinya tidak semua orang dengan HIV (ODHIV) akan mengalaminya.
Pada akhirnya semakin banyak orang berpikir bahwa HIV adalah "penyakit" yang menyeramkan dan tidak dapat diobati, sehingga semakin mudah dijadikan bahan untuk menakut-nakuti orang lain. Akan semakin banyak pula orang dengan HIV yang akan mengalami diskriminasi termasuk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Juga akan semakin banyak yang enggan untuk melakukan tes HIV karena takut apabila hasilnya positif maka akan menerima semua ketakutan-ketakutan diatas, termasuk bagaimana harus menjalani kehidupan selanjutnya.
Apabila hal ini tidak diupayakan untuk diubah maka bukan tidak mungkin isu HIV yang sudah ada hampir 40 tahun juga tidak akan mengalami perubahan apapun. Stigma tetap tinggi, angka penularan baru juga tidak kunjung dapat ditekan. Kasus diskriminasi akan terus ada sekalipun dilayanan kesehatan.
Hal yang seharusnya dilakukan adalah mengubah pola edukasi terkait HIV menjadi lebih positif dengan membagikan informasi-informasi terkait penelitian baru pengobatan HIV yang memungkinkan bahwa orang dengan HIV tidak lagi dapat menularkan. Stigma internal yang seringkali dijadikan kambing hitam untuk perubahan kebijakan tentunya tidak akan terjadi kalau tidak ada stigma eksternal. Stigma eksternal termasuk edukasi negatif akan sangat berpengaruh pada upaya penanganan pencegahan penularan baru HIV.
Coba buat kampanye atau edukasi HIV yang tidak membuat orang takut sehingga pemeriksaan HIV dapat dianggap sebagai bagian pemeriksaan kesehatan rutin. Dan bagaiman infeksi HIV juga perlu dibuat "normal" sama seperti infeksi lainnya yang dapat menginfeksi siapapun. Tidaklah perlu mengkaitkan HIV dengan isu moralitas karena siapapun dapat terinfeksi HIV.
Demikian pula status HIV tidaklah perlu dijadikan hal utama untuk melakukan perbedaan layanan termasuk syarat MCU. Setiap orang memiliki status HIV yang sama : positif, negatif atau tidak tau karena tidak pernah melakukan pemeriksaan HIV.
Apapun status HIV-nya apabila informasiyang diterima adalah positif dan tidak menakutkan tentunya juga dapat menjadi dasar pencegahan penularan lebih lanjut. Apabila positif segera melakukan pengobatan sehingga secepatnya mencapai viral load tersupresi yang artinya juga sudah tidak lagi dapat menularkan HIV kepasangannya secara seksual. Apabila hasil tes negatif maka dapat mengambil langkah pencegahan lain yaitu akses PrEP dan rutin melakukan pemeriksaan HIV/IMS apabila aktif secara seksual. Apabila belum tau status juga seharusnya dapat mendorong untuk melakukan tes, mengingat HIV juga sudah ada obat untuk mengendalikan HIV dan membuat pengidapnya tetap sehat.
So akankah kita membiarkan "korban" ketidak tauan semakin banyak, sekalipun di era informasi digital semua hal bisa diakses bebas? Mulailah berbicara dan tidak lagi menghindari pembicaraan mengenai HIV.