BERANDA ARTIKEL DAFTAR ARTIKEL FAVORIT SAYA DOKUMEN KONTEN EDUKASI ENDORSEMENT HOTLINE TENTANG KAMI

Bagaimana Stigma Membunuh ODHIV

07-Sep-2023 | Aan Rianto

Terakhir diperbaharui 23-Feb-2024

Estimasi waktu baca artikel sampai selesai menit

Telah di baca 146 kali

Jadikan artikel favorit

#faith2endaids

...

Mungkin kita pernah menemukan kasus-kasus berikut, atau bahkan berpikir kalau kita juga akan mengalami hal yang sama dari satu atau lebih kasus berikut :

Kasus satu, saat diberitahu status HIV positif seorang pasien langsung berpikir bahwa hidupnya akan segera berakhir.

Kasus dua, dengan status positifnya seorang pasien merasa sebagai individu yang berbeda secara sosial sehingga menarik diri dari pergaulan sosial.

Kasus tiga, karena percaya bahwa HIV tidak ada obatnya, seorang yang baru terdiagnosa positif langsung berupaya mencari pengobatan alternatif apapun yang diklaim mampu menyembuhkan HIV.

Kasus empat, karena percaya bahwa HIV tidak dapat disembuhkan dan dipulihkan kondisinya, orang yang hidup dengan HIV yang sudah lama ARV sekalipun akan mulai berpikir buat apa minum ARV kalau pada akhirnya tetap tidak dapat sembuh/pulih.

Kasus lima, orang yang baru tau status HIV positifnya berpikir bahwa dia akan dijauhi orang lain, padahal saat itu masih diruang konseling dan belum ada orang lainpun yang tau statusnya.

Kasus enam, pasien merasa berdosa dan bersalah berlebihan melakukan hal yang sangat bertentangan dengan norma sosial sehingga melakukan "penghukuman diri".

Kasus delapan, orang dengan HIV beranggapan dirinya tidak akan mampu hidup sama seperti orang lain,tidak akan lolos tes kesehatan, tidak akan mampu menjalin hubungan dan berumahtangga, ataupun memiliki anak sehingga waktunya hanya dihabiskan untuk merenung dan menyesali nasib.

Kasus sembilan, orang yang negatif HIV hanya karena pernah melakukan hubungan seks lalu beranggapan dirinya pasti akan terinfeksi HIV. Bahkan saat sudah melakukan banyak tes setiap bulan termasuk tes PCR yang mahal dan menghabiskan banyak biaya masih berpikir hasil tesnya tidak valid, karena adanya pemahaman bahwa setiap orang yang melakukan hubungan seks berisiko PASTI otomatis akan terinfeksi HIV.

Dan masih banyak lagi kasus kasus dilapangan yang kemudian berakhir kematian akibat stadium akhir (AIDS) karena tidak segera mendapatkan pengobatan ARV. Sebagian besar karena tidak mau mencari informasi lain terhadap stigma yang sudah berupa slogan dan diucapkan dalam keseharian sehingga dianggap suatu kebenaran. Stigma dan apa kata orang ditelan mentah-mnetah tanpa mencari pembanding kasus yang sama tetapi memiliki hasil yang berbeda. 

Menganggap diri bersalah, berdosa, kotor, hina, tidak layak dan berbagai pikiran negatif lainnya justru akan menghambat kita untuk melangkah lebih jauh atau (bahkan) mendapat informasi yang harusnya justru dapat mencerahkan. Menolak bergabung dalam suatu jejaring yang berisi orang-orang positif HIV (untuk berbagi informasi) karena ketakutan akan terbongkarnya status juga merupakan suatu mental block yang harus disingkirkan mengingat group sebaya dapat dimanfaatkan menjadi sumber dukungan yang cukup besar.

Banyak sekali kasus yang mengakibatkan orang dengan HIV harus terusir dari komunitas atau keluarganya, dikucilkan bahkan bunuh diri karena tidak memahami HIV itu sendiri. Selain tidak tau kemana harus mencari informasi dan dukungan, ketakutan akan terbukanya status juga membuat banyak orang dengan HIV tidak memiliki dukungan ataupun sumber literasi yang positif yang dapat mendukungnya untuk melanjutkan hidup selanjutnya sebagai orang yang hidup dengan HIV. 

Seberapa banyak yang sadar bahwa menurut awam HIV disebarkan karena free sex (seks bebas) dan bukan karena risky sex (seks berisiko, unprotected sex)? Apakah kita akan diam saja dianggap sebagai orang yang gemar melakukan seks bebas  disana sini dan tidak bermoral? 

Hingga saat ini HIV masih dianggap penyakit yang mudah menular, tidak ada obatnya dan belum dapat disembuhkan. 
Apakah kita akan membiarkan orang terus menerus mengintimidasi dengan hal-hal diatas sementara kita tahu bahwa ARV dapat menekan HIV hingga tidak terdeteksi dan tidak lagi menularkan orang lain melalui seks, yang juga berarti orang dengan HIV tidak lagi ada bedanya (atau layak diperlakukan berbeda) sama seperti orang tanpa HIV. Dan bahwa orang dengan HIV juga dapat memiliki kualitas hidup yang sama dengan orang tanpa HIV? Orang dengan HIV juga dapat memiliki perkerjaan sama seperti orang tanpa HIV. 

Apakah kita akan diam saat orang lain yang tidak paham HIV berbicara melantur mengenai mitos-mitos HIV yang mereka percaya? Termasuk bila seseorang berhubungan seks dengan orang yang hidup dengan HIV otomatis akan langsung tertular tanpa memahami syarat penularan HIV itu sendiri?  Apakah kita akan selamanya pasrah dengan kondisi masyarakat awam yang "salah edukasi" dan mengembangkan mitos yang salah (bahkan dijadikan slogan) selama bertahun tahun? Termasuk pemahaman yang hingga sekarang lekat dengan edukasi HIV : HIV disebabkan oleh seks bebas.....

Ada banyak orang dengan HIV memutuskan mengakhiri hidupnya karena berpikir HIV tidak ada obatnya, akan menjadi aib masyarakat, dikucilkan keluarga dan kerabat, gagal dalam setiap pekerjaan yang dilamar atau bahkan terus menerus menyesali diri dan kehilangan semangat untuk memperjuangkan kesehatannya. Semua terjadi karena stigma buruk terhadap HIV dan orang yang hidup dengan HIV.
Padahal sama seperti infeksi lainnya, HIV tidak memilih siapa yang akan diinfeksinya. Setiap orang juga pada akhirnya memiliki status yang sama (sama seperti infeksi lainnya juga) : positif, negatif dan tidak tahu (karena tidak pernah tes HIV)......lalu apa yang membuat orang dengan HIV menjadi demikian spesial sehingga layak digunjingkan atau dikucilkan? Padahal saat undetectable mereka sudah tidak lagi dapat menularkan HIV secara seksual sekalipun melakukan seks tanpa kondom .....yang artinya juga sama seperti orang lain yang tidak hidup dengan HIV.....

Informasi-informasi negatif akan mendorong terjadinya internal stigma. Internal stigma tidak akan muncul apabila tidak ada eksternal stigma dimasyarakat sosialnya. Internal stigma yang kemudian muncul selain dapat mendorong tindakan bunuh diri juga berakibat pada gangguan kesehatan mental, depresi, ketidakmampuan mengatasi kondisi paska trauma, isolasi diri dari kingkungan sosial, pemiskinan diri karena tidak mampu bangkit untuk mengupayakan pekerjaan dan banyak hal lain. Dampak yang kemudian dialami oleh komunitas umum adalah saat orang dengan HIV tidak menjalani pengobatan ARV maka ancaman infeksi HIV akan tetap ada. HIV baru akan terhenti penularannya saat semua orang yang hidup dengan HIV tidak lagi dapat menularkan HIV keorang lain. Untuk itu semua upaya agar keberlangsungan pengobatan pada orang yang hidup dengan HIV tetap harus dilakukan, termasuk penghapusan stigma dan tidak adanya lagi perlakuan diskriminatif. HIV bukanlah isu atau masalah "Dia layak terinfeksi HIV karena perilaku (moralitas) yang tidak baik......"
HIV dapat menginfeksi siapapun yang tidak mengetahui cara penularannya, sex abstinence dan faithfullness tidak cukup untuk dapat mencegah seseorang terinfeksi HIV. Banyak contoh kasus penularan HIV terjadi dalam lingkup rumah tangga yang monogami sekalipun.

Kenali sumber stigma, kenali mitos yang beredar, pelajari HIV dan runtuhkan mitos satu demi satu.....Stop bisik-bisik, bicarakan HIV berdasarkan fakta dan bukan mitos!

Kata kunci : #faith2endaids
Artikel dari
Mitos, Diskriminasi, Stigma

Bagaimana Mengedukasi TDTM Atau U=U


11-Sep-2023 | Aan Rianto

Bubur Ayam Dan HIV


12-Sep-2023 | Aan Rianto